Minggu, 20 April 2014

Kekasihku Sekarang

''Boleh Kakang minta sesuatu?'' Lelaki itu menggenggam tangan gadis cantik yang ada di depannya. Suasana jadi semakin sepi, ah tidak! Suasana jadi semakin romantis karena mereka berdua diam, hanya saling menatap penuh rasa sayang. Suara ombak dan burung yang terbang bebas menjadi pelengkap suasana bahagia mereka.

Edo, dia lelaki yang besok pagi mau pergi ke kota. Ya, tujuannya sama dengan lelaki pada umumnya di desa mereka. Hidup di desa sebagai nelayan belum cukup kalau untuk dengan layak bersama isteri. Harus ada cara lain biar makan tak sesulit sekarang. Pilihan yang ada adalah merantau, berharap dapatkan pekerjaan yang layak dengan bayaran dua kali bahkan tiga kali daripada jadi nelayan.

''Kau minta apa, Sayang?'' Tanya Ani. Senyum dan tetesan air mata kini menghiasi wajah ayunya. Seperti mau berpisah dengan orang mati yang mau dikubur. Rasanya memang cinta Ani sangat besar. Sampai-sampai tangisan ini sama dengan tangisannya waktu bapak tertuanya meninggal kala musim panen ikan kemarin.

''Aku harap kau tidak meninggalkanku dalam keadaanku seperti ini. Terpenting, aku mohon berjanjilah untuk selalu menjaga kesetiaan, untuk terus menjaga cinta kita. Kau paham kan, Dinda?''
''Tentu, Kakang. Cintaku akan tetap aku jaga. Sebagai bukti, akan aku rawat dengan baik benih yang kau tabur dalam rahimku ini. Hati-hatilah dalam bekerja di sana. Aku takut terjadi apa-apa denganmu.''

---

Kota, pasti suasananya sangat jauh berbeda dengan di kampung. Padahal alamat sudah tertera jelas tapi bagi Edo yang baru merambah dunia metropolitan bukan hal yang mudah untuk bergerak, bahkan hanya buat sekadar mencari alamat. Tapi memang satu yang dia pegang, malu bertanya akan sesat di jalan. Barulah setelah puluhan kali dia bertanya kesana-kemari mencari alamat akhirnya dia menemukan tempat tinggal Deni, teman karibnya. Dia berasal dari kampung yang sama dengan Edo. Dan dia lah pelopor bagi Edo untuk mau merubah nasib di kota.

Luar biasa! Takjub benar Edo dibuatnya. Rumah yang ada di depannya itu benar-benar rumah yang berkelas. Magrong, kalo orang-orang di kampungnya bilang. Beberapa saat kemudian ada satpam yang keluar menemui Edo.
''Maaf, Mas cari siapa?'' Tanya satpam tersebut.
''Anu Pak, saya lagi nyari alamat rumah teman saya, namanya Deni. Kalau sesuai catatan saya si ini rumahnya.'' Tatapan Edo bukan ke arah orang yang bertanya tapi malah nyengir-nyengir terus menatap rumah mewah di depannya itu.
''Oh, apa ini Mas Edo?'' Tanya satpam.
''Benar! Itu nama saya. Darimana Bapak tahu? Wah, hebat sekali ternyata Bapak pintar membaca pikiran orang juga ya kayak pesulap-pesulap di tv itu. Hehehe'' Edo tertawa.
Satpam tersebut hanya tersenyum lalu menyuruhnya masuk. Tanpa bertanya tanpa apa, Edo mau ikut saja masuk. Dan jelas sekarang kalau rumah itu punya Deni. Edo tahu itu setelah masuk dan bertemu dengan kawan lamanya itu. Tak menunggu lama setelah mereka melepas rindu kini mereka sudah di meja makan. Ini tempat yang sudah ditunggu Edo dari tadi. Lahap sekali hidangan di meja ia makan.

''Begini Do, sekarang kebetulan perusahaanku sedang butuh orang buat jadi karyawan. Gajinya lumayan besar. Dan aku sangat yakin kamu bisa di bidang ini. Aku yakin kamu pasti cocok.''

Dan begitulah, pekerjaan yang Edo pegang memang bisa dia kuasai dengan baik sampai akhirnya beberapa bulan dia sudah dipromosikan ke jenjang Supervisor. Luar biasa memang karirnya. Soal gaji, benar sekali. Uang yang ia dapat perbulan setelah dikirim ke kampung untuk isterinya masih sangat cukup buat dia sendiri. Edo sangat bersyukur dengan yang ia dapat.

Tapi di sisi lain, posisi Deni malah jadi tidak bagus sekarang. Hal remeh, dia dapatkan rival baru sehingga posisinya malah agak goncang. Bosnya lebih melihat pada potensi Edo daripada Deni yang notabene orang lama. Kesal, marah, kecewa, semuanya bercampur pada diri Deni. ''Apa yang dia pikirkan? Berani-beraninya dia sebut perhatian Bos! Dasar orang tak tahu diuntung!'' Gerutu Deni dalam hati.

Edo, dia sungguh sangat menikmati kesuksesannya sekarang. Tanpa melihat ini semua karena temannya, Deni. Bahkan pikirannya mulai licik. Timbul keinginan untuk menyingkirkan Deni dari jabatannya itu. Karena dengan itu dia akan lebih mudah mencapai karir yang lebih gemilang. Dasar watak manusia, sekarang Edo seperti orang yang gelap mata. Tak tahu benar atau salah, yang penting itu buat dia senang pasti dia lakukan.

---

Sementara itu di kampung, isteri Edo juga dalam puncak kemewahan. Serba kecukupan. Apa-apa ia ada sekarang. Gubuk reot yang hampir ambruk kini sudah disulap jadi rumah mewah bak istana raja. Impiannya satu, dia mau setelah jabang bayinya lahir, ia lahir seperti seorang pangeran yang tak perlu lagi memikirkan soal susahnya hidup miskin. Ani mau si jabang bayi nantinya tumbuh dengan sangat baik.

Hari kelahiranpun tiba. Di rumah sakit kondisi Ani sedang sangat kritis. Ada banyak sekali pendarahan. Dia tak tahu bagaimana ia sekarang. Pasti sangat kacau! Sementara suaminya sangat sibuk dengan bisnisnya di kota. Edo telah melanggar janji! Harusnya dia ada di sini menemani isterinya. Harusnya dia tidak menjalani hal sesulit ini sendiri. Tapi, ah, biarlah. Yang penting nanti anaknya akan lahir selamat. Bodohnya Ani juga. Kenapa dia tidak mau ikut ke kota bersama suaminya? Malah lebih memilih ada di rumah hanya dengan ibu mertuanya yang galak dan calon si jabang bayi selama ini.

Satu jam, harusnya ada bayi yang mungil di samping ibu yang puas dengan kelahiran anaknya. Tapi, yang ada sangat memilukan. Orang-orang di sekitar menangis. Ani dan si jabang bayi hanya diam, mereka sudah menjadi mayat. Persalinan berujung duka pada akhirnya.

---

Jauh di kota, hati Edo sedang hancur. Tender yang ia impikan tak berhasil dia dapatkan. Dia kalah.
''Iya halo, Saya Edo. Ada apa? APA?'' Edo tersentak dan tubuhnya langsung rubuh mendengar kabar duka dari pihak rumah sakit di kampungnya. Entah seperti apa jiwa Edo sekarang. Tapi pasti dia dalam kesedihan dan emosi yang sangat parah!

Dua bulan kemudian, suasana sangat berbeda dengan keadaanya ketika jaya. Bukan jas atau pakaian bagus yang ia pakai sekarang. Tapi sebuah seragam berwarna putih. Dia dapatkan itu sebagai pakaian yang wajib dipakai biar mudah dikenali sebagai pasien rumah sakit jiwa.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar